Skip to content

Diburu Pasar, Kayu Merbau Terancam? Ini Fakta dan Datanya

Citra Kayu, Kayu merbau tengah menjadi sorotan dalam industri konstruksi dan furnitur di Indonesia dan pasar internasional. Dikenal karena kekuatannya, ketahanan terhadap rayap, serta warna cokelat kemerahan yang eksotis, kayu ini menjadi pilihan favorit untuk lantai, kusen, jendela, hingga furnitur mewah. Namun, popularitas yang tinggi ini juga menimbulkan kekhawatiran serius: apakah eksploitasi kayu merbau sudah berada di titik yang mengancam kelestariannya?

Apa Itu Kayu Merbau?

Kayu merbau berasal dari pohon Intsia bijuga dan Intsia palembanica, yang tumbuh di kawasan hutan tropis seperti Papua, Maluku, Kalimantan, dan sebagian wilayah Asia Tenggara serta Pasifik. Kayu ini termasuk jenis hardwood dengan tingkat kekerasan dan kepadatan tinggi. Karena sifat fisik dan estetikanya yang unggul, merbau kerap dipilih untuk bangunan berkualitas tinggi maupun kebutuhan ekspor.

Lonjakan Permintaan di Pasar Domestik dan Internasional

Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan terhadap kayu merbau meningkat drastis. Di Indonesia sendiri, tren gaya hidup alami dan penggunaan material kayu solid pada hunian modern membuat produk berbahan merbau semakin diminati. Di pasar ekspor, terutama ke negara-negara seperti Tiongkok, Australia, dan Uni Eropa, merbau dihargai tinggi karena dianggap sebagai pengganti potensial kayu jati yang kini semakin langka.

Berdasarkan data dari [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)], ekspor kayu merbau pada 2023 meningkat hingga 28% dibanding tahun sebelumnya. Permintaan terbesar berasal dari sektor flooring dan decking.

Ancaman terhadap Hutan Alam

Namun, peningkatan permintaan ini datang dengan harga mahal. Kayu merbau sebagian besar masih diperoleh dari hutan alam, terutama di Papua. Dalam laporan [Greenpeace dan beberapa LSM lingkungan], disebutkan bahwa pembalakan liar terhadap pohon merbau menjadi isu serius. Proses logging tanpa izin, lemahnya pengawasan di daerah terpencil, serta praktik-praktik ilegal oleh beberapa pelaku industri membuat ekosistem hutan Papua terancam rusak parah.

Data dari Global Forest Watch mencatat bahwa Papua kehilangan lebih dari 100.000 hektare tutupan hutan primer antara 2017–2022, sebagian besar akibat penebangan untuk kayu komersial, termasuk merbau.

Sertifikasi dan Upaya Legalitas

Untuk mengatasi eksploitasi liar, pemerintah telah mendorong penggunaan sistem legalitas kayu melalui SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Sertifikasi ini menjadi syarat wajib untuk ekspor dan juga sebagai standar tanggung jawab lingkungan dalam perdagangan kayu.

Namun, implementasi SVLK belum sepenuhnya efektif di lapangan. Masih banyak kayu merbau yang masuk ke jalur distribusi legal meskipun asal-usulnya tidak jelas. Selain itu, kesenjangan informasi dan kendala teknis di daerah penghasil kayu menyebabkan pengawasan tidak maksimal.

Apa Kata Pelaku Industri?

Beberapa pelaku industri kayu mengakui bahwa keberlanjutan merbau menjadi kekhawatiran tersendiri. “Kami menyadari bahwa jika tidak ada pengelolaan yang berkelanjutan, dalam 10–15 tahun ke depan merbau bisa habis,” ujar seorang pengusaha furnitur asal Jepara.

Untuk itu, sejumlah perusahaan mulai beralih ke kayu alternatif seperti bengkirai, ulin, atau bahkan kayu rekayasa (engineered wood). Ada pula yang mulai menerapkan prinsip Forest Stewardship Council (FSC) untuk memastikan asal-usul kayu berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.

Solusi: Budidaya & Edukasi Pasar

Salah satu solusi jangka panjang adalah membudidayakan pohon merbau secara komersial. Namun, hal ini tidak mudah. Pohon merbau tumbuh sangat lambat dan baru bisa dipanen dalam waktu puluhan tahun. Karena itu, peran teknologi agroforestri dan penelitian pemuliaan tanaman menjadi sangat penting.

Selain itu, edukasi terhadap konsumen juga perlu diperkuat. Pasar perlu diberi pemahaman bahwa memilih produk kayu legal dan berkelanjutan bukan hanya soal kepatuhan hukum, tetapi juga bentuk kepedulian terhadap lingkungan.

Infografis yang Bisa Ditambahkan

  1. Grafik: Tren Ekspor Kayu Merbau (2018–2024)
  • X-axis: Tahun (2018–2024)
  • Y-axis: Volume ekspor (dalam m³ atau ton)
  • Tampilkan garis naik signifikan dari 2020 ke 2023, lalu stabil/menurun ringan jika ada regulasi.
  1. Diagram: Negara Tujuan Ekspor Kayu Merbau
  • Pie chart atau donut chart.
  • Contoh:
    • Tiongkok: 45%
    • Australia: 20%
    • Eropa: 15%
    • Amerika Serikat: 10%
    • Lainnya: 10%
  1. Peta: Daerah Penghasil Kayu Merbau di Indonesia
  • Sorot provinsi:
    • Papua (utama)
    • Maluku
    • Kalimantan Barat & Tengah
  1. Perbandingan: Kayu Merbau vs Kayu Jati

Kriteria

Kayu Merbau

Kayu Jati

Warna

Cokelat kemerahan

Cokelat keemasan

Ketahanan Rayap

Sangat Tahan

Tahan

Harga

Sedang-Tinggi

Tinggi

Sumber

Hutan Alam

Hutan & Perkebunan

Kesimpulan

Kayu merbau memang memiliki nilai estetika dan kekuatan tinggi yang membuatnya sangat diminati. Namun, di balik popularitas itu, ada ancaman nyata terhadap keberlanjutan hutan alam Indonesia. Tanpa pengelolaan yang bertanggung jawab dan dukungan dari semua pihak — mulai dari pemerintah, industri, hingga konsumen — kayu merbau bisa berubah dari primadona pasar menjadi simbol krisis lingkungan.

Sebagai konsumen, memilih produk kayu legal dan bersertifikasi adalah langkah kecil namun berdampak besar. Karena di balik sebatang kayu yang indah, tersimpan tanggung jawab untuk menjaga alam tetap lestari.